-Kali ini aku mau ngepost Cerpen favoritku semasa
SD, judulnya “Bukit ke Tiga Belas”. Aku pertama kali membaca Cerpen ini sewaktu
SD dulu, disaat aku berlangganan Majalah favoritku juga yaitu Majalah Bobo. Sampai
sekarang setiap aku membaca ulang Cerpen “Bukit ke Tiga Belas”, terkadang tanpa
sadar air mataku mengucur sendiri. Cerpen ini keren, dia punya daya tarik
tersendiri dimataku. Yuk baca
Cerpen "Bukit ke Tiga Belas dan temukan keseruannya-
Ajo tidak
punya sepatu. Kepalanya dicukur gundul supaya tidak ada kutunya. Hidungnya
ingusan. Pakaiannya usang. Setiap pagi, ia selalu berkelahi dengan
saudara-saudaranya, berebut seragam sekolah. Bila menang, ia ke sekolah memakai
baju seragam. Bila kalah, ia telanjang dada.
Ajo
berumur delapan tahun. Ia tidak sabar untuk tumbuh dewasa. Ia ingin menjadi
tentara. Pergi bertugas ke tempat-tempat yang jauh. Ajo sangat suka berkelana.
Ia sering bolos sekolah untuk menjelajahi sungai-sungai dan bukit-bukit yang banyak
terdapat di desa kami.
Ajo
bilang, aku sahabatnya.
“Mengapa
kau menganggapku demikian ?” tanyaku heran.
Ajo
bilang, karena aku baik hati. Aku sering memberikan bekal makan siangku
kepadanya. Sebenarnya, aku tidak sebaik itu. Setiap hari Ibu membuatkanku bekal
makan siang yang berbeda. Kalau aku tak suka bekalku, kuberikan saja pada Ajo.
Namun kalau aku suka, Ajo tidak kubagi. Aku jadi tidak enak karena Ajo menganggapku
sahabat yang baik.
Aku
menatap bolpoin logam kesayanganku, hadiah dari Ayah. Aku selalu menulis
cerpen, pelajaran dan catatan harianku dengan bolpoin tersebut. Kuberikan
bolpoint itu kepada Ajo, sebagai tanda persahabatan.
“Tapi ini bolpint kesayanganmu !”
kata Ajo. “Aku tidak bisa menerimanya”.
“Kalau kau
tidak mau, berarti kau bukan sahabtku” kataku.
Maka Ajo
pun bersedia menerimanya.
Ada empat
belas bukit di desaku. Ajo telah mendaki dua belas diantaranya. Kini Ajo hendak
mendaki bukit yang ke tiga belas. Biasanya dia mendaki seorang diri. Namun kali
ini ia mengajakku.
“Aku tidak
mau bolos sekolah” tolakku.
“Kita
akan mendaki hari Minggu”
“Tiga
belas adalah angka sial”
“Kau anak
pintar kata Ajo, “Kenapa
masih percaya tahayul?”
Aku
menatap Ajo. “Bagaimana aku bisa mendaki bukit dengan keadaan seperti ini?” tanyaku
sedih. Aku sakit dan tidak mampu lagi berjalan. Aku harus memakai kursi roda.
“Aku akan
menggendongmu” kata Ajo. “Sampai ke puncak!”.
“Ayah dan
Ibuku tidak akan mengijinkan” kataku.
Sungguh
di luar dugaan,
ternyata kedua orang tuaku mengijinkan aku mendaki bersama Ajo. kami berangkat
pada hari Minggu subuh. Ajo bilang, pemandangan di pagi hari lebih indah dari
pada siang hari.
Ini
adalah pendakian pertamanku. Dan mungkin satu-satunya pendakian yang kulakukan
seumur hidupku.
“Bukit
apa yang kita daki ini?”
“Gunung Berjo” jawab Ajo.
“Berjo
bukan gunung” sanggahku. “Tapi bukit”.
Aku
membaca banyak buku tentang gunung. Dengan penuh semangat, kubagi pengetahuanku
kepada Ajo, sahabatku. Kuterangkan tentang gunung-gunung terkenal di dunia. Kuceritakan
tentang Danau Toba
yang merupakan kawah gunung berapi purba. Kukisahkan tentang letusan gunung
Krakatau yang abunya membuat langit mendung setahun lebih.
Sambil
menyimak penjelasanku, Ajo terus mendaki. Aku digendongnya di punggung. Ia
sangat kuat. Tidak sekalipun ia nampak kepayahan.
Akhirnya,
kami tiba di puncak bukit. Ajo menurunkanku. Kami duduk di sebuah batu besar.
Ajo benar. Pemandangan disini begitu indah. Matahari baru saja terbit. Warnanya
merah teduh. Cahayanya kuning lembut. Rumah-rumah dan pohon-pohon tampak
terbendar keemasan. Udara terasa dingin. Namun, segar dan bersih. Hatiku sangat
bahagia. Aku berterima kasih pada Tuhan.
“Kau
menangis!” seru Ajo panik. “Kau sakit? kau Sakit?”
“Tidak,
tidak” jawabku menenangkan Ajo. “Aku bahagia” Ku tatap sahabatku. “Terima Kasih
Ajo”.
Sebulan
berlalu sejak hari itu. Kini aku dirawat di rumah sakit. Ini adalah ke empat
kalinya aku dirawat disana. Aku ditemani Ibu. Ayah masih dikantor. Untuk
mengusir kebosanan, aku menulis cerita. Saat itu, aku dikejutkan oleh bunyi
ketukan di jendela kaca. Ternyata Ajo. Ia memanjat jendelaku yang berada di
lantai dua. Ibu membuka jendela agar Ajo bisa masuk.
“Kanapa
tidak lewat pintu?” tanya Ibu.
“Tidak
bolah sama Satpam, Budhe” jawab Ajo.
“Ya jelas
tidak boleh” kataku, “Ini kan bukan jam menjenguk pasien”.
“Pasien
itu apa?”
“Orang
sakit yang dirawat di rumah sakit” Seperti aku terangku.
Ibu
menyuruh Ajo duduk di kursi di dekatku.
“Kamu
sedang menulis apa?” Tanya Ajo.
“Cerita.
Saat kita naik bukit dulu”
“Sudah
selesai ?”
”Hampir”
jawabku. “Kau yang menyelesaikannya, ya?”
“Kenapa
aku?”
“Ini
adalah cerita kita” terangku. “Jadi, ini ceritamu juga. Kau harus ikut
bercerita…”
Namaku
Ajo. Aku punya seorang sahabat. Namanya Hanum. Dia baik sekali padaku. Hanum sakit parah. Sangat
parah. Tubuhnya jadi lemah. Lalu dia meninggal dunia.
Aku sedih
sekali. Aku kehilangan seorang sahabat. Aku menangis saat pemakamannya. Aku
menangis malam harinya. Aku menangis pagi harinya.
Lalu ayah
dan ibu Hanum datang ke rumahku. Tapi, itu enam bulan sesudah Hanum meninggal.
Jadi, aku tidak lagi menangis. Tapi, aku masih sedih.
Ayah dan
Ibu Hanum berbincang-bincang dengan aku dan orang tuaku. Ayah dan ibu Hanum
tidak punya anak lagi. Mereka ingin aku jadi anak angkat mereka. Aku bilang,
aku mau. Ayah dan ibuku pun membolehkan.
Sekarang
aku tinggal di rumah Hanum. Ayah dan ibu Hanum sangat sayang padaku. Aku sangat
bahagia.
Inilah
akhir dari ceritaku dan cerita Hanum. Aku sangat bahagia. Aku berdo’a, semoga
Hanum pun berbahagia di alam sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar